Sugeng Rawuh

Para rencang ingkang kula tresnani, sumangga kula aturi mirsani serat-seratan saking kula menika, mugi saged mranani ing penggalih.

Thursday, June 16, 2011

Rekrutmen yang.......ANEH

Kami adalah dua pemudi iseng yang bekerja sambil bermain, alias bermain internet alias fesbukan. Itulah salah satu hiburan kami selama bekerja di sebuah kantor kecil yang mengutamakan pelayanan. Status hubungan kerja kami ini masih kontrak. Tidak ada kepastian untuk kami, yang ada hanya janji-janji bahwa nanti akan lebih baik akan dapat ini dan itu, biasa lah outsourcing. Dengan alasan inilah, kami sepakat untuk selalu "ngintip" lowongan kerja di tempat lain yang (mungkin) lebih menjamin nasib kami, para wanita cantik dan berbakat ini (harus narsis).

Dipilih dan dipilah, lowongan-lowongan di internet tersebut kami amat-amati, kalau ada yang rada wagu dan gak bonafid, kami akan memicingkan mata, kalau ada yang lumayan prospek, kami akan tersenyum bahagia. Sebuah perusahaan penerbangan yang cukup besar di Indonesia telah menarik minat kami. Hmmm kami berpikir, perusahaan besar ini pastilah membutuhkan wanita-wanita seperti kami, yang cerdas dan menarik. Tapi ada satu hal.....sebetulnya kami tidak terlalu tertarik dengan posisi yang ditawarkan perusahaan itu. Ya sudahlah...kami putuskan saja mencoba melempar manggis, siapa tau manggis kulempar, kerjaan kudapatkan.

Rekrutmen perusahaan itu dilakukan dengan sistem online atau e-recruitment. Kami bisa mengirimkan lamaran dengan mengisi formulir yang disediakan oleh mereka lewat website sekaligus mengunggah (aplod) foto terbaru dan CV. Masih dengan iseng-iseng berhadiah kami membuat lamarannya. Lowongan sebagai pramugari itu akhirnya kami tindaklanjuti.

Kami menunggu beberapa hari untuk hasilnya. Kami masih memiliki pandangan bahwa perusahaan sebesar itu pastilah rekrutmennya profesional, ga ecek ecek dung dung prettt!

Akhirnya hari itu, kami beranikan diri membuka e-mail inbox, jrengg jrenggg jrengg jrenggg ternyata aku lolos untuk mengkuti seleksi awal, hanya saja jadwal seleksi belum ada. Kutatap wajah kawanku yang cantik di belakangku,  ada sedikit warna kecewa di wajahnya, ternyata dia tidak mendapatkan pemberitahuan yang sama denganku. Tak apalah, dia masih bisa berjuang lagi, siapa tahu ada yang lebih baik.

Beberapa hari lagi kutunggu untuk pemberitahuan lebih lanjut, tapi tak kunjung ada di e-mailku. Akhirnya pemberitahuan itu ada 2 hari sebelum hari seleksi awal. Seleksi awal menyebutkan bahwa para pelamar diharap membawa surat lamaran, cv lengkap dan foto dengan ukuran tertentu. Setelah itu, wajib memakai blouse terang, rok gelap selutut dan berdandan rapi natural.

Pada tanggal yang telah disebutkan, aku pun minta izin kepada supervisorku secara jujur untuk mengikuti seleksi. Sampai detik itu aku masih berpikiran bahwa perusahaan ini perusahaan profesional.

Sebagai pramugari, setahuku tidak boleh memakai kacamata. Tapi di persyaratan awal yang muncul di web, memakai soflens masih diperbolehkan. Aku memutuskan tetap menggunakan kacamata minusku untuk seleksi, karena malam hari sebelumnya aku mencoba memakai soflens, dan mataku memerah, tidak kuat rasanya.

Seleksi diadakan di sebuah hotel bintang 4, sampai di sana sudah banyak wanita-wanita cantik dengan tubuh tinggi dan proporsional (menurutku), sedang mengantri untuk dites.

Tibalah giliranku untuk masuk ke ruangan seleksi, ruangan yang sangat kecil sampai kami harus menunggu di luar. Di sana aku ditanya apakah mengetahui salah satu persyaratan menjadi pramugari adalah tidak memakai kacamata. Untuk hal ini aku sudah menjelaskan, dan mereka mengerti. Lalu tiba saat aku diminta mengukur tinggi dan berat badan. Deng deng ternyata hanya 161 cm dan 48 kg. Lalu si Mbak (yang tidak begitu tinggi namun banyak gaya) berkata kira-kira begini: "Maaf Mbak belum bisa bergabung dengan kami untuk tahap selanjutnya, secara tinggi badan sudah memenuhi kriteria, tetapi mohon maaf untuk berat badan masih jauh, seharusnya minimal 54 kg. Trimakasih sudah mengikuti seleksi ini, besok bisa mencoba lagi."

Ngoookkk ngookkk apa-apaan ini, aku lalu meninggalkan ruangan yang membuatku merasa bodoh itu. Surat lamaran yang dengan apiknya kupersiapkan dari rumah tidak dibuka sama sekali, aku sampai bela-belain cetak foto lagi dan memperbaiki kancing bajuku yang ilang satu hanya demi hari naas itu. Aku dilecehkan..Ohhhhh rasanya ingin kumakan saja surat-suratku itu., supaya bisa menambah berat badanku.

Kalau cuma diminta ukur berat dan tinggi badan saja, ngapain capek-capek dandan cantik, izin ga masuk kerja dan sebagainya? Jadi pramugari apakah hanya cukup penampilan saja?? Apakah isi otak dan seluruh pengalamannya dipandang sebelah mata? Kalau iya, aku sangat bersyukur tidak jadi bergabung dengan perusahaan besar yang tidak profesional itu, karena aku lebih suka menggunakan otakku daripada sekedar penampilan fisik. Lagipula sudah jelas kusebutkan dalam lamaran lewat website, mengenai berat, tinggi badan, dan bahwa aku memakai kacamata. Apakah mereka tidak melihatnya? Huhhh buang-buang waktu saja aku ini. Teman sekantorku tadi pasti tertawa geli kalau kuceritakan semuanya, dan pastinya dia akan lebih bersyukur dariku.

Sebelum pulang dari hotel itu, aku sempat ngobrol dengan sesama mbak-mbak yang daftar pramugari, ternyata mereka gagal juga karena berat badan, bahkan ada yang sudah jadi pramugari di maskapai lain, tidak diterima juga, hanya semata-mata alasan berat badan. Rekrutmen yang aneh....!

Keesokan harinya, aku mengirimkan kritik pedasku kepada panitia rekrutmen perusahaan menyebalkan itu, melalui sms dan e-mail, berharap agar mereka berefleksi, menyadari ketidakprofesionalan mereka. Hanya jawaban singkat yang kudapatkan :" Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Mbak, terima kasih sudah mengikuti proses seleksi ini, semoga sukses untuk anda." Sukses your face so far!!!!! Perusahaan yang lebih kecil pun bisa melakukan yang lebih baik dari ini!!

Benar-benar rekrutmen yang aneh!

Kesimpulannya, jangan percaya 100% pada sebuah perusahaan besar yang punya nama, apalagi yang masih bisa leluasa main monopoli di negeri ini. Jangan remehkan perusahaan kecil, tak jarang mereka lebih manusiawi dan "berhati nyaman" terhadap kita para calon pelamar kerja.


Untuk kawan cantik di kantorku, yukkkk cari lowongan lagi....no patah semangat....no pelecehan lagi. Smile...:)

kelelahan Bisa Membuat Pikun

Sore ini sungguh menyenangkan, karena lagi-lagi aku bisa pulang ke rumah lebih awal dari sebelum-sebelumnya. Hmmm seperti biasa pulang melewati jalan yang sama, pemandangan yang itu-itu juga, tetap dengan Red Devilku yang dekil.

Di perjalanan, aku mencoba mengingat-ingat. Rasa-rasanya satu bulan terakhir ini, badan terasa lebih gampang capek, apalagi banyak agenda kegiatan yang semua sama pentingnya, mulai dari rapat pia, rapat lingkungan, latihan koor untuk tugas mingguan, latihan koor untuk lomba, doa rosario, workshop mendongeng, tugas lektor dan cari donatur. Belum lagi cucian baju seragam dan pakaian sehari-hari, yahhhh makin full deh hari-hariku di bulan ini. tapi tentu saja aku masih merasa senang, karena semua kulakukan masih di tengah-tengah keluarga kecil dan teman-teman dekatku. Yang jelas aku tidak sampai sakit.

Aku teringat lagi, ada yang belum kukerjakan. Ada beberapa undangan yang harus kubagikan kepada ketua blok, jadi sampai di rumah aku hanya mampir untuk mengambil undangan-undangan itu, dan pergi lagi.

Pertama aku menuju rumah Bapak Sabariman, ketua blok 2, ngengggggg 5 menit sampai. Dengan bernyanyi-nyanyi kecil aku menuju rumahnya yang sebelumnya harus berjalan melewati jalan kecil alias gang senggol. Aku dipersilakan masuk dan duduk. Lalu kuserahkan undangan-undangan itu untuk dibagikan kepada warga blok 2 nantinya. Tentu tak lupa, tujuan terselubung datang ke rumah Pak Sabar ini adalah untuk menemui Kangmas Fredy hehehe, sambil menyelam minum kopi. Selesai berbasa-basa haha-hihi dan wira-wiri, akhirnya aku pamit pulang. Tapi ohhhhhhh....ke mana gerangan tempat makanku dengan merk tupperware seharga 200rb yang kubeli dengan gajiku yang kesekian entahlah aku tak tahu??? Aku mencari-cari di sekitar rumah itu, di bawah meja, di dekat kursi, di dapur (lhoh), di ruang tamu, tak kutemukan juga tas pink berisi seperangkat alat makan tunai itu. Duhhh duhhh biyungg, piye iki, kok iso ora ono??? Tadi taktaruh mana aku sama sekali lupa. lupa.lupa. Ya ampunnnn!!!!!

Sampailah pada detik menyerah, berkesimpulan bahwa aku selama ini kurang beramal,sehingga tempat makanku bisa hilang. Hufhhhh, ya sudah lah aku pamit dari rumah Bapak Sabar sambil berpesan siapa tahu mereka melihat tempat makanku, karena saat itu aku benar-benar lupa dan tidak bisa berpikir lebih jernih. Semakin lelah saja badan ini, oalahhhh Gusti....Gusti.....

Aku pun melanjutkan perjalanan menuju rumah Ibu Priyo, ketua blok 4. Sama seperti rumah Bapak Sabar, untuk menuju rumah Ibu Priyo juga harus melewati gang senggol semacam labirin. Yang ini lebih nyeni sih, karena selain berusaha merampingkan badan, juga menundukkan kepala, karena banyak rumah warga yang atapnya rendah, mungkin mereka berfilosofi agar satu dengan yang lain saling menghormati (lebay deh gue kayaknya). Ciiiiiiittt sampailah di rumah Ibu Priyo. Dengan rasa dongkol dalam hati setelah merasa kehilangan tempat makan dekil itu, aku menyerahkan undangan warga kepada Ibu Priyo. Karena tidak ada lagi tujuan terselubung di rumah beliau, maka aku langsung pamitan, karena saat itu sudah menunjukkan pukul 6 dan ohhhh God...aku belum mandi, hiyyyy, padahal jam 7 latihan koor, dan aku harus menyiapkan tempat jam stg7. Aduhh biyunggg aduh bapa, aduh duhhhhh.....

Si red devil yang tetap dekil kesayanganku itu telah kuparkir di depan rumahku. Aku pun membuka pintu rumah, masih dengan dongkol, duobellllll duonggggggkollll malah. Pintu terbuka, dan mataku tertancap pada benda mungil (sebetulnya agak gede) berwarna pink. Dan ohhhhhhhhhhhhhh lha itu tempat makanku ada di atas meja. Ahahahaahihihihahahaha si taperwer tidak hilang atau raib ditelan bumi. Dia tetap eksis dengan centilnya di meja itu, seolah mengejekku dengan kata2 "Dasar Pikun!!!!"

My God....aku baru ingat, tadi waktu mampir pulang ke rumah untuk mengambil undangan, tempat makanku sempat kutinggal di atas meja supaya tidak menyusahkan misi pembagian undangan itu.

Hmmmm...leganya. Besok aku bisa kembali ke sekolah...eh....ke kantor dengan tempat makan pink, dekil tapi centil itu. Thanks God....kelelahan ternyata juga bisa membuat PIKUN hahahahahaa gutnait lah yauuu:)

Sunday, May 29, 2011

Dialog Cinta Adam dan Eva

Eva: Hai cinta, selamat malam...


Adam: Selamat malam Eva...benarkah kau mencintaiku Eva? Seberapa besarkah cintamu padaku?


Eva: Cintaku realistis, Adam, sebesar jerawat-jerawatku yang selalu bermunculan, kadang kecil, kadang juga agak besar, namun selalu ada :-)


Adam:....kadang juga hilang dengan sendirinya....atau bahkan ditutupi, agar tersembunyi, karena tak bisa dibanggakan, dan yang pasti memalukan...

Eva: Maksudmu apa? Mengapa kau bicara seperti itu? Lagipula aku tak pernah menutupi jerawatku.


Adam: Yahh..aku hanya meneruskan pernyataanmu

Eva: Seberapa luaskah kesabaran dan pintu maafmu terbuka untukku, Adam?


Adam: kesabaranku manusiawi, cuma selebar karet kolor, mungkin bisa kutarik melar tambah panjang, tapi juga bisa putus, memang bisa dijahit lagi, tapi tak akan sesempurna waktu awalnya.

Eva: sekarang, karetnya sedang melar ataukah putus?


Adam: baru saja ditarik....melar tak seberapa, entah sampai kapan kuatnya...kamu yang menentukan..seperti halnya aku yang menentukan jerawatmu akan tumbuh lagi atau tidak.

Eva: hmmm...semua keputusan, kauletakkan di atas kepalaku? Kau manusiawi, Adam, tapi tak mau rugi, padahal aku sudah realistis. Jerawatku pasti muncul secara alami karena hormon, jadi tidak akan pernah hilang, hanya besar kecilnya saja yang berubah. Cinta itu sudah anugerah dari Tuhan kita, jadi bukan kamu atau aku yang menentukan.


Adam: semuanya kitalah yang menentukan, Tuhan hanya memberikan petunjuk jalan mana yang benar. Kalau ternyata jalan kita tak benar, yaa Dia hanya bisa geleng-geleng kepala sambil berkata,"Rasakno....!!!Salahe dhewe ngeyel!!!

Eva: Baiklah...kitalah penentunya, tapi kita hanya bisa menentukan besar kecilnya cinta, sedangkan cinta itu sendiri sudah ada. Tuhan kita sangat baik....pasti Dia akan memperdengarkan suara lembutNya: "Anak-anakku...marilah kita saling mengasihi, mengampuni hingga 77 x 7 kali, memberi pipi kiri ketika ditampar sebelah kanan, mencintai tanpa batas.:-)


Adam: "Cinta Tuhan menaungimu, anakku." Eva,...walaupun cintaku tak seindah, sebesar dan sesempurna milik Tuhan, tapi seluruh cintaku telah kuserahkan kepadamu...selamat tidur sayang...Tuhan menjagamu.

Eva: : Selamat tidur juga Adamku, semoga cinta kita adalah cinta yang tangguh, bukan cinta yang cengeng. Aku menyayangimu...Tuhan melindungimu. :D

Tuesday, May 24, 2011

Seperti Kopi Malam Ini

Seperti cokelat, manis
Seperti jamu, agak pahit
Seperti kopi malam ini.

Aku meraciknya setiap hari, tak pernah kutakar
supaya aku bisa merasakan yang berbeda,
setiap kali aku meneguknya perlahan

Mengalir dalam darahku, 
tidak lagi terasa manis atau pahitnya, 
hanya tinggal kenangan
tadi aku merasakan manis
tadi aku merasakan pahit

seperti hidup ini
kita tak pernah tau apa yang akan terjadi
mungkin sesuatu yang manis atau pahit
mungkin juga segera lupa apa yang baru saja terjadi
hanya tinggal kenangan

Seperti kopi malam ini

My Lovely Engagement

Hmmm...semakin tua, rasa-rasanya hasrat menulisku kok semakin berkurang yah. Tapi...untuk kali ini, aku harus memaksa tanganku untuk mau menulis, mataku pun masih cukup segar untuk melihat, meskipun hari ini sudah jam 12 malam.Baiklah...kita memakai alur mundur-maju-mundur sak-sak-e saja.

Peristiwa indah ini berlangsung pada tanggal 16 Mei 2011 yang lalu. Hari yang sangat istimewa. Pertama, karena hari itu diapit 2 hari libur, yaitu hari Minggu dan hari Waisak. Kedua, hari itu akhirnya ditetapkan menjadi hari cuti bersama nasional, sehingga aku pun mendapat libur, meskipun hari itu aku sempat datang ke kantor sebentar karena tidak tahu kalau hari itu diliburkan. Ketiga, hari itu tidak hujan sejak pagi, padahal beberapa hari sebelumnya didominasi oleh hujan deras ditemani angin kencang. Keempat, pada malam hari itu kebetulan juga ada sembahyangan memperingati 7 hari dipanggilnya tetanggaku, Pak Noto. Kelima dan yang teristimewa, hari itu Aku dan Fredy bertunangan, hari itu pula genap sudah 3 tahun aku menjalani hari-hari bersama Fredy.

Kira-kira 1 bulan sebelum hari istimewa ini, aku hanya ngobrol-ngobrol ringan dengan Papa, yang tiba-tiba saja meloncatkan kata "tunangan", ehhhh kemudian aku jadi kepikiran juga, padahal sebelumnya aku berpendapat tidak usah tunangan, alias kalau sudah yakin, langsung nikah saja.Tapi, dengan berbagai pertimbangan, salah satunya karena tempat kerja Fredy yang di luar kota, akhirnya aku pun membicarakan rencana tunangan ini dengan Fredy dan keluarganya. Ternyata eh ternyata..Bapak Ibu Fredy malah sudah siap semua, tinggal menunggu kesiapanku. Jadi...aku dan Fredy memberanikan diri menghadap Papa untuk mengutarakan maksud hati.

Dengan malu-malu campur gundah gulana, Fredy mengawali pembicaraan dengan Papa sore itu. Sesekali kutambahi dengan kata-kataku ketika dia mulai terpatah-patah bicaranya. Papa pun ternyata menanggapi dengan positif maksud kami, meskipun saat itu kami hanya berpakaian santai. Ehhh lha kok Fredy tiba-tiba buka sms di depan Papaku, ya kontan Papaku agak gimana gitu ganti deh, wong baru bicara serius kok disambi sms, tapi itu semua sudah diklarifikasi karena memang itu sms penting yang harus segera dibalas, hehehe. Pembicaraan pun berlanjut. Aku dan Fredy sepakat memilih tanggal 16 Mei 2011 sebagai hari pertunangan kami, dengan tambahan alasan lagi, supaya Rani gendut kakakku yang ada di Tasik,  bisa izin pulang agak lama, jadi gak capek di jalan.

Persiapan pun mulai kulakukan. Aku sering ke rumah Fredy, untuk membicarakan semacam asok tukon atau peningset dan semua perlengkapan yang harus kubeli bersama Ibu, kata Ibu fungsi barang-barang itu untuk  tanda pengikat aku dan Fredy, jadi aku ga dibawa lari sama wewe gombel. Sebetulnya kata asok tukon atau peningset aku kurang setuju, aku lebih suka menyebutnya "tandha tresna" atau tanda cinta dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Yah...untuk momen-momen belanja ini cukup menyenangkan sih, karena aku bisa memilih mana yang kusuka. Katanya banyak calon mertua yang gak ajak-ajak calon menantu ketika belanja ini itu, jadi si menantu belum tentu cocok, bahkan malah tidak terpakai. Bersyukur...bersyukur...karena Bapak Ibu sangat perhatian padaku.

Pembelian tandha tresna dan cincin tunangan pun selesai sudah komplit, tinggal dibungkus rapi dan dihias. Namun alangkah malunya aku, setiap ditanya Bapak Ibu bagaimana rancangan acara pertunangan nanti. Aku tidak tahu apa-apa, pasalnya papa selalu tidak senang jika aku banyak bertanya. Mungkin dia terlalu sibuk atau memang menganggap pertunangan ini simple saja, gak perlu persiapan detail, pikirku. Yah...lebih baik aku diam saja dan pasrah semuanya, yang pasti Papa mengatakan bahwa acara akan dibuat lain dari yang lain, unik dan pasti berkesan. Ya sudahlah....aku percaya padamu, Pak, hehehe.

Walaupun tidak banyak bicara, tapi aku bisa melihat kegundahan di wajah Papa saat persiapan acara. Dia malah tanpa ba bi bu meminta bantuan beberapa karyawannya untuk mengecat rumah. Satu minggu sebelum hari H, Papa Mama bertemu Bapak Ibu Fredy di rumah kami. Kami membicarakan teknis persiapan acara. Sampai pertemuan itu, masih sepakat di antara kami bahwa acara akan berlangsung di rumah. Untuk ini, aku pun tahu kenapa Papa mengecat rumah. Kesepakatan lain adalah acara akan berlangsung lesehan, sederhana tapi khidmat, bermakna dan berkesan, karena biar hanya tunangan, tapi harapannya hanya berlangsung sekali seumur hidup, nantinya akan berlanjut sampai ke pernikahan.

Jreng jreng jreng jreeeeng...lha kok tiba-tiba hari Selasa berubah rencana. Papa dan Mama akhirnya lebih memilih acara diadakan di luar rumah, yaitu di Jambon Resto, sebuah restoran di daerah Godean, dengan alasan rumah kami terlalu kecil untuk menampung tamu sekitar 30 orang, dan supaya tidak repot mempersiapkan segalanya, karena kebetulan kami sekeluarga sibuk semua. Alasan lain, supaya acara berlangsung lebih khidmat. What???? memang ga ada hubungan sepertinya alasan ini. Keputusan lainnya, tidak mengundang Romo atau Prodiakon atau pengurus lingkungan, hanya beberapa tetangga terdekat. Doa pun juga akan dilakukan secara masing-masing sesuai agama dan kepercayaan. Yang istimewa dan ini benar-benar kupegang dalam hati: di hari spesial itu, aku dan Fredy akan membacakan sebuah ikrar bersama pertunangan kami. What??? (lagi) apa pula ini ada ikrar-ikraran, kaya sumpah pemuda aja.

Perihal acara di Jambon Resto, aku memang agak terkejut, karena pasti biayanya mahal. Tetap dengan menimbang-nimbang, akhirnya ya sudahlah di sana saja. Hari Senin, 16 Mei 2011, bertempat di Jambon Resto, akan melangsungkan pertunangan Fredy dan Gita, disaksikan keluarga dan tetangga terdekat, berjumlah maksimal 30 orang, pukul 19.30-21.00 WIB. Thok...thok...thok... (aku sudah mengetuk paluku sendiri).

Mengapa yang diundang hanya sedikit? Karena ini baru acara pertunangan, yang paling penting RT mengetahui, saudara dekat mengetahui. Ini bukan pernikahan, jadi sudah cukup jika disaksikan oleh mereka saja. Nanti...kalau acara nikahan baru mengundang sebanyak-banyaknya teman dekat atau warga lingkungan. Okay..aku setuju dengan konsep ini.

Hari Sabtu malam, susunan acara selesai dibuat oleh Papa. Aku membaca sekilas dan tersenyum, khususnya di bagian ikrar bersama itu. Seperti apa nanti bunyinya, hehehe. Di sinilah nanti perbedaan utama pertunanganku dengan pertunangan yang lain. Lha yang membuat makin penasaran, ikrarnya belon jadi sodara-sodara!!!! Ya ampun...tinggal 2 hari lagi, hiks-hikss

Susunan acara tersebut lalu kubagikan pada tamu undangan, dari pihak keluargaku dan keluarga Fredy. Untuk sahabat-sahabatku, aku hanya memberitahu mereka secara lisan, atau facebook atau sms, untuk meminta doa restu mereka, meskipun tidak hadir pada acaraku nanti.

Senin siang, yaampyun, ikrarnya baru jadi, untung ga panjang-panjang banget, sumpah...pada kata-kata tertentu, aku jadi ingin ketawa ngakak, lhaa puitis banget, khas Papa sang sastrawan dari kampung Ngadiwinatan itu.

Satu hal yang membuat aku terharu dari apa yang dikatakan Papa, saat tunangan nanti, dia akan memakai namanya sebagai ayahku, tapi sebelumnya dia semacam ingin minta restu pada Bapak Ibuku, jadi sore hari kami sekeluarga ziarah ke makam Bapak Ibuku dan keluarga kami yang lain yang ada di Dongkelan dan Kuncen. Aku yakin semuanya telah merestuiku.

Semuanya dirasa telah siap, maka jam 5 sore kami pun bersiap dandan untuk yang terbaik nanti. Diam-diam selalu kuamati wajah Papa, tetap tersirat sedikit keraguan di sana, aku tahu itu apa, tapi aku diam saja karena aku yakin dia akan mengatasi semua kegundahannya sendiri.

Jam setengah 7, kami semua sudah siap berangkat. Papa sudah mengajak serta Om Aping, Mas Toni dan Mas Mimbar untuk membantu selama acara yaitu memotret dan sebagainya. Kami naik mobil menuju Jambon Resto. Tiba di sana, semua juga telah diatur sedemikian rupa. Awalan yang baik, perjalanan lancar, cuaca cerah, begitu pun hatiku yang dibalut kebaya krem pinjaman dari Ibunya Fredy hehehe (pinjeman dot com).

Kira-kira setengah jam kemudian, setelah kami harap-harap cemas, pihak keluarga Fredy datang. Pihak keluargaku pun berdiri berjajar untuk menyambut kedatangan mereka. Kami semua lalu duduk, sambil disediakan teh hangat dan snack pembuka, acara demi acara berlangsung. Semua hadirin membawa rasa penasarannya masig-masing.

Tiba saat pemasangan cincin. Ibu Fredy memasangkan cincin pada jariku, sedangkan cincin Fredy dipasangkan oleh mama. Rasa penasaran berkurang setengah.

Tiba saat pembacaan ikrar bersama. Aku dan Fredy membaca kata demi kata, perlahan namun pasti, hingga selesai. Para tamu bertepuk tangan dikomando oleh Bapak Barkah sang wakil keluarga Fredy. Rasa penasaran hilang berganti rasa lega (dan haus tentu saja).


Kami bahagia sekali. Adegan yang paling hot: papa memeluk Fredy, sambil mbrambangi (kalau ga dilihat banyak orang pasti sudah mewek tuh papa). Papa juga memelukku, sebagai orangtua pastilah peristiwa ini cukup menggetarkan jiwanya, karena satu orang anak yang telah dibesarkannya, dibanggakannya sejak kecil, kini sudah hampir memasuki babak baru dalam kehidupannya, suatu proses peralihan, yang nantinya tanggung jawab orangtua akan tergantikan oleh orang lain yang menjadi pendamping hidup di masa depan. Tugasnya sebagai orangtua telah selesai, mendidik anak sehingga memiliki nilai, kemudian harus merelakannya, melepasnya dalam arti bukan tidak berhubungan kembali. Dalam hal ini, orangtua manapun akan merasa berhasil, untuk kemudian menjadi rasa tentram yang panjang sesuai harapan mereka. Malam itu dia, Papa tidak banyak bicara, tapi matanya mengatakan semuanya, dan aku tahu itu. Aku menyimpannya baik-baik dalam kenanganku.


Selesai acara inti alias sumpah pemuda-pemudi tadi untuk menjaga kisah kasih mereka agar selamat sampai ke bahtera pernikahan yang mulia, kami pun makan bersama. Absen ya...ada lele, gurame, plecing kangkung, lalapan, bakmi, sambel dan buah. Semuanya memuaskan. Kami kenyang, kami senang, kami tenang, lalu bersiap pulang.

Akhirnya keluarga Fredy pun pamit pulang, kami kembali berjajar untuk bersalaman, sebetulnya tidak perlu seresmi ini sih, hehehe. Keluargaku pun juga segera pulang, setelah menyelesaikan urusan bayar-membayar. Fredy ikut pulang bersamaku, dengan alasan mau ikut membantu, padahal sebetulnya karena ingin dekat denganku, hihihi jadi maluu.

Rangkaian acara pertunangan belum selesai. Tanggal 17 Mei, aku mengajak Fredy ke Jatiningsih untuk berdoa bagi kami, supaya masa persiapan pernikahan dimudahkan. Aku juga ingin mengadakan semacam upacara kecil sebagai hadiah untuk Fredy. Siang itu setelah kami berdoa, aku mengeluarkan semua foto kenangan yang kumiliki, kenangan ketika aku masih bersama orang lain sebelum Fredy, baik itu pacar ataupun       calon pacar waktu itu. Aku meminjam korek apinya, dan kubakar satu per satu semua foto itu. Pembakaran ini kulakukan sebagai simbol pelepasan diriku dari keterikatan dengan semua mantanku. Aku tidak membenci mereka semua, aku tentu masih ingat mereka, aku hanya ingin menyerahkan diriku seutuhnya kepada Fredy. Dengan pembakaran ini, aku dan Fredy akan selalu ingat, kami sudah menjadi milik satu sama lain, masa lalu biarlah berlalu, sudah menjadi asap. Kami harap kami akan selalu ingat bahwa kami tidak berada di masa lalu, tapi masa kini, masa kebersamaan kami berdua, yang diharapkan akan abadi. Kami harus membuang rasa cemburu dan curiga satu sama lain. Ya...kami harus saling percaya.

Malam harinya, aku mengamati semua foto pertunangan kami, semua terlihat begitu manis dan menyenangkan. Kuamati pula cincin yang telah melingkar di jari manisku. Dalam hati aku berjanji, akan selalu setia padanya sampai mati.



-18 Mei 2011-

Monday, May 23, 2011

Pengemis...

Hampir setiap pagi melihat pemandangan di sebuah bangjo:seorang laki2 kumuh, meminta2, dan memanggil 'mbak...mbak...' sambil menunjuk-nunjuk mulutnya seperti minta makan. Anehnya tidak pernah dia memanggil mas pada mas-mas atau bapak-bapak yang berhenti di bangjo itu,dan suatu pagi,dia terlihat spt habis potong rambut. 

Pertanyaannya, dia potong rambut di mana, uang siapa, dan kenapa dia tidak pernah memanggil mas? Setiap aku berhenti di bangjo itu, jarang sekali orang memberikan uang kepadanya, sebab sebetulnya dia terlihat begitu normal secara fisik, tidak cacat, masih bisa berjalan, bicara dan berpakaian meskipun kumuh. Sejauh pengamatanku, dia berada di situ hanya pagi hari, entah sore harinya ke mana, dan tidur di mana. Kalau usia, yahh sekitar 35-40 tahunan. 

Apakah dia tinggal di rumah singgah, atau "peliharaan" seseorang seperti cerita yang pernah kudengar, bahwa ada seseorang yang "memelihara" orang-orang cacat atau miskin yang meminta-minta, anggaplah itu Bos. Setiap hari dengan caranya, si Bos mengantar orang-orang itu ke lokasi yang sudah ditentukan, lalu orang-orang itu harus meminta-minta, untuk kemudian disetorkan pada si Bos, apakah benar begitu, aku sendiri tidak pernah menyaksikan dengan mata kepalaku. Teganya memanfaatkan kelemahan orang! 

Kadang-kadang timbul rasa kasihan pada orang-orang seperti itu, apalagi kalau orang tersebut sudah tua. Untuk orang-orang tua, aku memandang mereka dengan cara yang sama seperti ketika aku memandang bayi. Sepertinya mereka begitu rapuh, belum atau tidak bisa lagi melakukan aktivitas secara maksimal, seperti layaknya orang yang masih muda. Aku lebih ikhlas memberikan recehan kepada orang tua itu daripada yang masih remaja atau masih muda.

Kemiskinan terlihat di mana-mana, katanya mereka dipelihara negara, entahlah. Banyak terpampang himbauan pemerintah: Peduli bukan berarti memberi, lebih baik anda salurkan uang atau bantuan anda kepada dinas sosial dsb. 

Apakah mengemis menjadi pilihan mereka? Dengan berbagai cara, mereka menghalalkan cara mereka sendiri. Dengan amplop bertuliskan: "butuh bantuan untuk sekolah", dengan memperlihatkan cacat dan luka tubuh yang menganga, dengan menggendong anak mereka yang masih kecil di bawah terik matahari, dengan pakaian compang-camping dan lusuh, atau malah tidak berpakaian lengkap, dengan rambut gimbal yang kotor. Apakah mereka tidak punya harapan lagi untuk kehidupan yang lebih baik? Apa yang ada di benak mereka, apakah hanya soal makanan setiap hari, cukup sampai di situ dan titik?

Memang ada pendampingan atau pemberdayaan anak jalanan, memang ada rumah singgah, tak jarang pula orang-orang tergerak mengadakan kegiatan sosial seperti bagi-bagi nasi bungkus atau pemeriksaan gratis kesehatan mereka. Tapi hingga kini masalah tersebut juga belum selesai, seolah-olah para pengemis atau anak jalanan sudah menikmati keseharian mereka yang "miskin".

Ironisnya, di negri sakura sana, seperti yang pernah kutonton di televisi, berita dari VOA menceritakan banyak pengemis memanfaatkan teknologi untuk mengemis, dengan menggunakan robot yang terbuat dari elektronik bekas, robot yang bisa bersuara meminta-minta belas kasihan, menggantikan suara sang pengemis sendiri, yang malah memilih memalingkan wajah mereka karena malu. Orang-orang yang melewati robot tersebut kemudian bisa memasukkan uang mereka ke dalam kotak yang tersedia, dan si robot akan mengucapkan terima kasih, para penderma malah tak malu-malu berfoto bersama si robot karena mereka menganggap itu sesuatu yang unik. Unik tapi tetap mengemis. Bagiku itu sama saja, seperti tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kualitas hidup ini, menggantungkan pada belas kasihan orang lain.

aku tidak sedang berusaha mencarikan solusi untuk mereka dengan tulisan ini, aku hanya menuliskan yang telah kulihat dan kuamati, malah bertanya-tanya tiada henti di sini, apakah:

Peduli = Memberi = Mengasihi = Solusi ???

Sunday, May 22, 2011

Di Hadapan Tuhan tidak perlu Hape Baru

Orang kreatif dan orang pintar semakin banyak,
teknologi semakin berkembang menuju ke arah yang lebih baik,
mengutamakan efisiensi dan efektivitas bagi aktivitas manusia,
semua produsen berlomba-lomba menghasilkan produk yang berkualitas,
setiap orang berpunya juga berlomba-lomba untuk menggunakan teknologi termutakhir,
dari urusan sepele seperti mencuci pakaian sampai penggunaan ponsel terbaru dan tercanggih untuk berkomunikasi.

Tidak ada yang salah jika teknologi semakin maju
tidak ada yang salah juga dengan orang-orang yang mengikuti perkembangan teknologi

itu salah, jika manusia  menjadi budak teknologi,
artinya selalu ikut-ikutan trend dan malah memaksakan kehendak padahal secara finansial tidak mampu untuk mengikuti setiap pergantian atau perkembangan, sehingga menghalalkan segala cara hanya untuk sebuah kata supaya dibilang "gaul" atau "keren"

itu juga salah (bagiku), ketika seorang yang memilih untuk konsisten menggunakan barang-barang yang sudah dimilikinya meski tidak pada kondisi terbaik, "dipersalahkan" ketika dia tidak menggantinya segera dengan barang-barang baru tadi.

Seperti yang kualami, orang bertanya padaku, "kenapa kamu tidak pakai BlackBerry?" atau orang lain lagi bertanya, "Motormu sudah terlalu tua, harus diganti yang baru, supaya pas dengan wajah yang mengendarai motor."

Yah..mungkin ada keinginanku untuk mengganti semua milikku dengan yang lebih baik, tapi setelah kupikir dan kupertimbangkan, "for what?" tanyaku dalam hati. Semuanya masih bisa digunakan. Aku selalu teringat ajaran orangtua dan kakekku bahwa sebaiknya apa yang masih bisa digunakan, gunakanlah, jangan selalu tergoda untuk membeli yang baru. Pendapat pribadiku sendiri berkata bahwa manusia tidak perlu membawa hape terbaru ketika menghadap Yang Kuasa. Lagipula dengan melihat kenyataan, masih banyak kebutuhanku yang harus lebih diprioritaskan, seperti biaya kursus, biaya belanja rumah tangga bulanan, bayar telepon atau sekedar memberi uang jajan pada adikku. Aku belum tertarik untuk kredit ini dan itu. Apakah sikap ini harus dipersalahkan?

Semoga setiap orang senantiasa memperbaharui hati dan budi mereka, bukan hanya kepemilikan duniawi semata. Semoga kita semua tidak kehilangan rasa syukur atas segala hal dan semakin menghayati kesederhanaan dalam hidup, seperti cinta Tuhan sendiri, yang sangat sederhana bagi umat manusia, mengasihi tanpa mengharap imbalan.