Sugeng Rawuh

Para rencang ingkang kula tresnani, sumangga kula aturi mirsani serat-seratan saking kula menika, mugi saged mranani ing penggalih.

Tuesday, May 24, 2011

My Lovely Engagement

Hmmm...semakin tua, rasa-rasanya hasrat menulisku kok semakin berkurang yah. Tapi...untuk kali ini, aku harus memaksa tanganku untuk mau menulis, mataku pun masih cukup segar untuk melihat, meskipun hari ini sudah jam 12 malam.Baiklah...kita memakai alur mundur-maju-mundur sak-sak-e saja.

Peristiwa indah ini berlangsung pada tanggal 16 Mei 2011 yang lalu. Hari yang sangat istimewa. Pertama, karena hari itu diapit 2 hari libur, yaitu hari Minggu dan hari Waisak. Kedua, hari itu akhirnya ditetapkan menjadi hari cuti bersama nasional, sehingga aku pun mendapat libur, meskipun hari itu aku sempat datang ke kantor sebentar karena tidak tahu kalau hari itu diliburkan. Ketiga, hari itu tidak hujan sejak pagi, padahal beberapa hari sebelumnya didominasi oleh hujan deras ditemani angin kencang. Keempat, pada malam hari itu kebetulan juga ada sembahyangan memperingati 7 hari dipanggilnya tetanggaku, Pak Noto. Kelima dan yang teristimewa, hari itu Aku dan Fredy bertunangan, hari itu pula genap sudah 3 tahun aku menjalani hari-hari bersama Fredy.

Kira-kira 1 bulan sebelum hari istimewa ini, aku hanya ngobrol-ngobrol ringan dengan Papa, yang tiba-tiba saja meloncatkan kata "tunangan", ehhhh kemudian aku jadi kepikiran juga, padahal sebelumnya aku berpendapat tidak usah tunangan, alias kalau sudah yakin, langsung nikah saja.Tapi, dengan berbagai pertimbangan, salah satunya karena tempat kerja Fredy yang di luar kota, akhirnya aku pun membicarakan rencana tunangan ini dengan Fredy dan keluarganya. Ternyata eh ternyata..Bapak Ibu Fredy malah sudah siap semua, tinggal menunggu kesiapanku. Jadi...aku dan Fredy memberanikan diri menghadap Papa untuk mengutarakan maksud hati.

Dengan malu-malu campur gundah gulana, Fredy mengawali pembicaraan dengan Papa sore itu. Sesekali kutambahi dengan kata-kataku ketika dia mulai terpatah-patah bicaranya. Papa pun ternyata menanggapi dengan positif maksud kami, meskipun saat itu kami hanya berpakaian santai. Ehhh lha kok Fredy tiba-tiba buka sms di depan Papaku, ya kontan Papaku agak gimana gitu ganti deh, wong baru bicara serius kok disambi sms, tapi itu semua sudah diklarifikasi karena memang itu sms penting yang harus segera dibalas, hehehe. Pembicaraan pun berlanjut. Aku dan Fredy sepakat memilih tanggal 16 Mei 2011 sebagai hari pertunangan kami, dengan tambahan alasan lagi, supaya Rani gendut kakakku yang ada di Tasik,  bisa izin pulang agak lama, jadi gak capek di jalan.

Persiapan pun mulai kulakukan. Aku sering ke rumah Fredy, untuk membicarakan semacam asok tukon atau peningset dan semua perlengkapan yang harus kubeli bersama Ibu, kata Ibu fungsi barang-barang itu untuk  tanda pengikat aku dan Fredy, jadi aku ga dibawa lari sama wewe gombel. Sebetulnya kata asok tukon atau peningset aku kurang setuju, aku lebih suka menyebutnya "tandha tresna" atau tanda cinta dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Yah...untuk momen-momen belanja ini cukup menyenangkan sih, karena aku bisa memilih mana yang kusuka. Katanya banyak calon mertua yang gak ajak-ajak calon menantu ketika belanja ini itu, jadi si menantu belum tentu cocok, bahkan malah tidak terpakai. Bersyukur...bersyukur...karena Bapak Ibu sangat perhatian padaku.

Pembelian tandha tresna dan cincin tunangan pun selesai sudah komplit, tinggal dibungkus rapi dan dihias. Namun alangkah malunya aku, setiap ditanya Bapak Ibu bagaimana rancangan acara pertunangan nanti. Aku tidak tahu apa-apa, pasalnya papa selalu tidak senang jika aku banyak bertanya. Mungkin dia terlalu sibuk atau memang menganggap pertunangan ini simple saja, gak perlu persiapan detail, pikirku. Yah...lebih baik aku diam saja dan pasrah semuanya, yang pasti Papa mengatakan bahwa acara akan dibuat lain dari yang lain, unik dan pasti berkesan. Ya sudahlah....aku percaya padamu, Pak, hehehe.

Walaupun tidak banyak bicara, tapi aku bisa melihat kegundahan di wajah Papa saat persiapan acara. Dia malah tanpa ba bi bu meminta bantuan beberapa karyawannya untuk mengecat rumah. Satu minggu sebelum hari H, Papa Mama bertemu Bapak Ibu Fredy di rumah kami. Kami membicarakan teknis persiapan acara. Sampai pertemuan itu, masih sepakat di antara kami bahwa acara akan berlangsung di rumah. Untuk ini, aku pun tahu kenapa Papa mengecat rumah. Kesepakatan lain adalah acara akan berlangsung lesehan, sederhana tapi khidmat, bermakna dan berkesan, karena biar hanya tunangan, tapi harapannya hanya berlangsung sekali seumur hidup, nantinya akan berlanjut sampai ke pernikahan.

Jreng jreng jreng jreeeeng...lha kok tiba-tiba hari Selasa berubah rencana. Papa dan Mama akhirnya lebih memilih acara diadakan di luar rumah, yaitu di Jambon Resto, sebuah restoran di daerah Godean, dengan alasan rumah kami terlalu kecil untuk menampung tamu sekitar 30 orang, dan supaya tidak repot mempersiapkan segalanya, karena kebetulan kami sekeluarga sibuk semua. Alasan lain, supaya acara berlangsung lebih khidmat. What???? memang ga ada hubungan sepertinya alasan ini. Keputusan lainnya, tidak mengundang Romo atau Prodiakon atau pengurus lingkungan, hanya beberapa tetangga terdekat. Doa pun juga akan dilakukan secara masing-masing sesuai agama dan kepercayaan. Yang istimewa dan ini benar-benar kupegang dalam hati: di hari spesial itu, aku dan Fredy akan membacakan sebuah ikrar bersama pertunangan kami. What??? (lagi) apa pula ini ada ikrar-ikraran, kaya sumpah pemuda aja.

Perihal acara di Jambon Resto, aku memang agak terkejut, karena pasti biayanya mahal. Tetap dengan menimbang-nimbang, akhirnya ya sudahlah di sana saja. Hari Senin, 16 Mei 2011, bertempat di Jambon Resto, akan melangsungkan pertunangan Fredy dan Gita, disaksikan keluarga dan tetangga terdekat, berjumlah maksimal 30 orang, pukul 19.30-21.00 WIB. Thok...thok...thok... (aku sudah mengetuk paluku sendiri).

Mengapa yang diundang hanya sedikit? Karena ini baru acara pertunangan, yang paling penting RT mengetahui, saudara dekat mengetahui. Ini bukan pernikahan, jadi sudah cukup jika disaksikan oleh mereka saja. Nanti...kalau acara nikahan baru mengundang sebanyak-banyaknya teman dekat atau warga lingkungan. Okay..aku setuju dengan konsep ini.

Hari Sabtu malam, susunan acara selesai dibuat oleh Papa. Aku membaca sekilas dan tersenyum, khususnya di bagian ikrar bersama itu. Seperti apa nanti bunyinya, hehehe. Di sinilah nanti perbedaan utama pertunanganku dengan pertunangan yang lain. Lha yang membuat makin penasaran, ikrarnya belon jadi sodara-sodara!!!! Ya ampun...tinggal 2 hari lagi, hiks-hikss

Susunan acara tersebut lalu kubagikan pada tamu undangan, dari pihak keluargaku dan keluarga Fredy. Untuk sahabat-sahabatku, aku hanya memberitahu mereka secara lisan, atau facebook atau sms, untuk meminta doa restu mereka, meskipun tidak hadir pada acaraku nanti.

Senin siang, yaampyun, ikrarnya baru jadi, untung ga panjang-panjang banget, sumpah...pada kata-kata tertentu, aku jadi ingin ketawa ngakak, lhaa puitis banget, khas Papa sang sastrawan dari kampung Ngadiwinatan itu.

Satu hal yang membuat aku terharu dari apa yang dikatakan Papa, saat tunangan nanti, dia akan memakai namanya sebagai ayahku, tapi sebelumnya dia semacam ingin minta restu pada Bapak Ibuku, jadi sore hari kami sekeluarga ziarah ke makam Bapak Ibuku dan keluarga kami yang lain yang ada di Dongkelan dan Kuncen. Aku yakin semuanya telah merestuiku.

Semuanya dirasa telah siap, maka jam 5 sore kami pun bersiap dandan untuk yang terbaik nanti. Diam-diam selalu kuamati wajah Papa, tetap tersirat sedikit keraguan di sana, aku tahu itu apa, tapi aku diam saja karena aku yakin dia akan mengatasi semua kegundahannya sendiri.

Jam setengah 7, kami semua sudah siap berangkat. Papa sudah mengajak serta Om Aping, Mas Toni dan Mas Mimbar untuk membantu selama acara yaitu memotret dan sebagainya. Kami naik mobil menuju Jambon Resto. Tiba di sana, semua juga telah diatur sedemikian rupa. Awalan yang baik, perjalanan lancar, cuaca cerah, begitu pun hatiku yang dibalut kebaya krem pinjaman dari Ibunya Fredy hehehe (pinjeman dot com).

Kira-kira setengah jam kemudian, setelah kami harap-harap cemas, pihak keluarga Fredy datang. Pihak keluargaku pun berdiri berjajar untuk menyambut kedatangan mereka. Kami semua lalu duduk, sambil disediakan teh hangat dan snack pembuka, acara demi acara berlangsung. Semua hadirin membawa rasa penasarannya masig-masing.

Tiba saat pemasangan cincin. Ibu Fredy memasangkan cincin pada jariku, sedangkan cincin Fredy dipasangkan oleh mama. Rasa penasaran berkurang setengah.

Tiba saat pembacaan ikrar bersama. Aku dan Fredy membaca kata demi kata, perlahan namun pasti, hingga selesai. Para tamu bertepuk tangan dikomando oleh Bapak Barkah sang wakil keluarga Fredy. Rasa penasaran hilang berganti rasa lega (dan haus tentu saja).


Kami bahagia sekali. Adegan yang paling hot: papa memeluk Fredy, sambil mbrambangi (kalau ga dilihat banyak orang pasti sudah mewek tuh papa). Papa juga memelukku, sebagai orangtua pastilah peristiwa ini cukup menggetarkan jiwanya, karena satu orang anak yang telah dibesarkannya, dibanggakannya sejak kecil, kini sudah hampir memasuki babak baru dalam kehidupannya, suatu proses peralihan, yang nantinya tanggung jawab orangtua akan tergantikan oleh orang lain yang menjadi pendamping hidup di masa depan. Tugasnya sebagai orangtua telah selesai, mendidik anak sehingga memiliki nilai, kemudian harus merelakannya, melepasnya dalam arti bukan tidak berhubungan kembali. Dalam hal ini, orangtua manapun akan merasa berhasil, untuk kemudian menjadi rasa tentram yang panjang sesuai harapan mereka. Malam itu dia, Papa tidak banyak bicara, tapi matanya mengatakan semuanya, dan aku tahu itu. Aku menyimpannya baik-baik dalam kenanganku.


Selesai acara inti alias sumpah pemuda-pemudi tadi untuk menjaga kisah kasih mereka agar selamat sampai ke bahtera pernikahan yang mulia, kami pun makan bersama. Absen ya...ada lele, gurame, plecing kangkung, lalapan, bakmi, sambel dan buah. Semuanya memuaskan. Kami kenyang, kami senang, kami tenang, lalu bersiap pulang.

Akhirnya keluarga Fredy pun pamit pulang, kami kembali berjajar untuk bersalaman, sebetulnya tidak perlu seresmi ini sih, hehehe. Keluargaku pun juga segera pulang, setelah menyelesaikan urusan bayar-membayar. Fredy ikut pulang bersamaku, dengan alasan mau ikut membantu, padahal sebetulnya karena ingin dekat denganku, hihihi jadi maluu.

Rangkaian acara pertunangan belum selesai. Tanggal 17 Mei, aku mengajak Fredy ke Jatiningsih untuk berdoa bagi kami, supaya masa persiapan pernikahan dimudahkan. Aku juga ingin mengadakan semacam upacara kecil sebagai hadiah untuk Fredy. Siang itu setelah kami berdoa, aku mengeluarkan semua foto kenangan yang kumiliki, kenangan ketika aku masih bersama orang lain sebelum Fredy, baik itu pacar ataupun       calon pacar waktu itu. Aku meminjam korek apinya, dan kubakar satu per satu semua foto itu. Pembakaran ini kulakukan sebagai simbol pelepasan diriku dari keterikatan dengan semua mantanku. Aku tidak membenci mereka semua, aku tentu masih ingat mereka, aku hanya ingin menyerahkan diriku seutuhnya kepada Fredy. Dengan pembakaran ini, aku dan Fredy akan selalu ingat, kami sudah menjadi milik satu sama lain, masa lalu biarlah berlalu, sudah menjadi asap. Kami harap kami akan selalu ingat bahwa kami tidak berada di masa lalu, tapi masa kini, masa kebersamaan kami berdua, yang diharapkan akan abadi. Kami harus membuang rasa cemburu dan curiga satu sama lain. Ya...kami harus saling percaya.

Malam harinya, aku mengamati semua foto pertunangan kami, semua terlihat begitu manis dan menyenangkan. Kuamati pula cincin yang telah melingkar di jari manisku. Dalam hati aku berjanji, akan selalu setia padanya sampai mati.



-18 Mei 2011-

2 comments: